Rabu, 07 Januari 2015

Kebudayaan di Banten

Sejarah Dan Kebudayaan Provinsi Banten Banten pada masa lalu merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan masyarakat yang terbuka dan makmur. Banten pada abad ke 5 merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara. Salah satu prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara adalah Prasasti Cidanghiyangatau prasasti Lebak, yang ditemukan di kampung lebak di tepi Ci Danghiyang, Kecamatan Munjul, Pandeglang, Banten. Prasasti ini baru ditemukan tahun 1947 dan berisi 2 baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Isi prasasti tersebut mengagungkan keberanian rajaPurnawarman. Setelah runtuhnya kerajaan Tarumanagara (menurut beberapa sejarawan ini akibat serangan kerajaan Sriwijaya), kekuasaan di bagian baratPulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Ci Serayu dan Kali Brebes dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda. Seperti dinyatakan oleh Tome Pires, penjelajah Portugispada tahun 1513, Banten menjadi salah satu pelabuhan penting dari Kerajaan Sunda. Menurut sumber Portugis tersebut, Banten adalah salah satu pelabuhan kerajaan itu selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Kalapa, dan Cimanuk. Diawali dengan penguasaan Kota Pelabuhan Banten, yang dilanjutkan dengan merebut Banten Girang dari Pucuk Umun pada tahun 1527, Maulana Hasanuddin, mendirikan Kesultanan Banten di wilayah bekas Banten Girang. Dan pada tahun 1579, Maulana Yusuf, penerus Maulana Hasanuddin, menghancurkan Pakuan Pajajaran, ibukota atau pakuan (berasal dar kata pakuwuan) Kerajaan Sunda. Dengan demikian pemerintahan di Jawa Barat dilanjutkan oleh Kesultanan Banten. Hal itu ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan Pajajaran ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa diboyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Kerajaan Sunda yang "sah" karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja. Ketika sudah menjadi pusat Kesultanan Banten, sebagaimana dilaporkan oleh J. de Barros, Banten merupakan pelabuhan besar di Asia Tenggara, sejajar dengan Malaka dan Makassar. Kota Banten terletak di pertengahan pesisir sebuah teluk, yang lebarnya sampai tiga mil. Kota itu panjangnya 850 depa. Di tepi laut kota itu panjangnya 400 depa; masuk ke dalam ia lebih panjang. Melalui tengah-tengah kota ada sebuah sungai yang jernih, di mana kapal jenis jung dan gale dapat berlayar masuk. Sepanjang pinggiran kota ada sebuah anak sungai, di sungai yang tidak seberapa lebar itu hanya perahu-perahu kecil saja yang dapat berlayar masuk. Pada sebuah pinggiran kota itu ada sebuah benteng yang dindingnya terbuat dari bata dan lebarnya tujuh telapak tangan. Bangunan-bangunan pertahanannya terbuat dari kayu, terdiri dari dua tingkat, dan dipersenjatai dengan senjata yang baik. Di tengah kota terdapat alun-alun yang digunakan untuk kepentingan kegiatan ketentaraan dan kesenian rakyat dan sebagai pasar di pagi hari. Istana raja terletak di bagian selatan alun-alun. Di sampingnya terdapat bangunan datar yang ditinggikan dan beratap, disebut Srimanganti, yang digunakan sebagai tempat raja bertatap muka dengan rakyatnya. Di sebelah barat alun-alun didirikan sebuah mesjid agung. Pada awal abad ke-17 Masehi, Banten merupakan salah satu pusat perniagaan penting dalam jalur perniagaan internasional di Asia. Tata administrasi modern pemerintahan dan kepelabuhan sangat menunjang bagi tumbuhnya perekonmian masyarakat. Daerah kekuasaannya mencakup juga wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Ketika orang Belanda tiba di Banten untuk pertama kalinya, orang Portugis telah lama masuk ke Banten. Kemudian orang Inggris mendirikan loji di Banten dan disusul oleh orang Belanda. Selain itu, orang-orang Perancis dan Denmark pun pernah datang di Banten. Dalam persaingan antara pedagang Eropa ini, Belanda muncul sebagai pemenang. Orang Portugis melarikan diri dari Banten (1601), setelah armada mereka dihancurkan oleh armada Belanda di perairan Banten. Orang Inggris pun tersingkirkan dari Batavia (1619) dan Banten (1684) akibat tindakan orang Belanda. Pada 1 Januari 1926 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan untuk pembaharuan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi yang lebih luas. Di Pulau Jawa dibentuk pemerintahan otonom provinsi. Provincie West Java adalah provinsi pertama yang dibentuk di wilayah Hindia Belanda yang diresmikan dengan surat keputusan tanggal 1 Januari 1926, dan diundangkan dalam Staatsblad (Lembaran Negara) 1926 No. 326, 1928 No. 27 jo No. 28, 1928 No. 438, dan 1932 No. 507. Banten menjadi salah satu keresidenan dalam Provincie West Java disamping Batavia, Buitenzorg (Bogor), Priangan, dan Cirebon Kebudayaan Pencak Silat Pencak silat merupakan seni beladiri yang berakar dari budaya asli bangsa Indonesia. Disinyalir dari abad ke 7 Masehi silat sudah menyebar ke pelosok nusantara. Perkembangan dan penyebaran silat secara historis mulai tercatat ketika penyebarannya banyak dipengaruhi oleh kaum Ulama, seiring dengan penyebaran agama Islam pada abad ke15 di Nusantara. Kala itu pencak silat telah diajarkan bersama-sama dengan pelajaran agama di pesantren-pesatren dan juga surau-surau. Budaya sholat dan silat menjadi satu keterikatan erat dalam penyebaran pencak silat. Silat lalu berkembang dari sekedar ilmu beladiri dan seni tari rakyat, menjadi bagian dari pendidikan bela negara untuk menghadapi penjajah. Disamping itu juga pencak silat menjadi bagian dari latihan spiritual. Banten yang namanya sangat dikenal untuk ilmu silatnya juga penyebarannya tidak terlepas dari ajaran agama Islam. Tidak heran banyak nama dari jurus dan gerakan perguruan silat asli Banten diambil dari aksara dan bahasa arab. Pencak silat Banten mulai dikenal seiring dengan berdirinya kerajaan Islam Banten yang didirikan pada abad 15 masehi dengan raja pertamanya Sultan Hasanudin. Perkembangan pencak silat pada saat itu tidak terlepas dari dijadikannya silat sebagai alat untuk penggemblengan para prajurit kerajaan sebagai bekal ketangkasan bela negara yang diajarkan oleh para guru silat yang mengusasai berbagai aliran. Silat juga sebagai dasar alat pertahanan kerajaan dan masyarakat umum Banten dalam memerangi kolonialisme para penjajah. Pada saat ini pun Banten masih dikenal dan diakui secara luas dengan pendekar dan jawaranya, sebutan untuk orang-orang yang mahir dalam ilmu silat. Kebudayaan Debus Debus merupakan kesenian bela diri dari Banten. Kesenian ini diciptakan pada abad ke-16, pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570). Debus, suatu kesenian yang mempertunjukan kemampuan manusia yang luar biasa, kebal senjata tajam, kebal api, minum air keras, memasukan benda kedalam kelapa utuh, menggoreng telur di kepala dan lain-lain. Debus dalam bahasa Arab yang berarti senjata tajam yang terbuat dari besi, mempunyai ujung yang runcing dan berbentuk sedikit bundar. Dengan alat inilah para pemain debus dilukai, dan biasanya tidak dapat ditembus walaupun debus itu dipukul berkali kali oleh orang lain. Atraksi atraksi kekebalan badan ini merupakan variasi lain yang ada dipertunjukan debus. Antara lain, menusuk perut dengan benda tajam atau tombak, mengiris tubuh dengan golok sampai terluka maupun tanpa luka, makan bara api, memasukkan jarum yang panjang ke lidah, kulit, pipi sampai tembus dan tidak terluka. Mengiris anggota tubuh sampai terluka dan mengeluarkan darah tetapi dapat disembuhkan pada seketika itu juga, menyiram tubuh dengan air keras sampai pakaian yang melekat dibadan hancur, mengunyah beling/serpihan kaca, membakar tubuh. Dan masih banyak lagi atraksi yang mereka lakukan. Dibanten sendiri kesenian debus atau keahlian melakukan debus menjadi sesuatu yang lumrah dan banyak perguruan yang mengajarkannya. Kebudayaan Rudat Banten Rudat adalah kesenian tradisional khas Banten yang merupakan perpaduan unsur tari, syair shalawat, dan olah kanuragan yang berpadu dengan tabuhan terbang dan tepuk tangan. Rudat terdiri dari sejumlah musik perkusi yang dimainkan oleh setidaknya delapan orang penerbang (pemain musik ) yang mengiringi tujuh hingga dua belas penari.Menurut beberapa tokoh Rudat, nama Rudat diambil dari nama alat yang dimainkan dalam kesenian ini. Alat musik tersebut berbentuk bundar yang dimainkan dengan cara dipukul. Seni Rudat mulai ada dan berkembang pada masa pemerintahan Sinuhun Kesultanan Banten II, Pangeran Surosowan Panembahan Pakalangan Gede Maulana Yusuf (1570-1580 M). Tidak banyak yang mengetahui siapa yang menciptakan kesenian ini, karena sekarang sesepuh yang mengetahui seluk-beluk Rudat sangat sedikit bahkan sebagian sudah meninggal. Naskah yag berisi sejarah Rudat dan nilai-nilai filosofis tentang rudat pun hanya dimiliki oleh satu sampai dua orang yang salah satunya merupakan anak dari mendiang pemilik naskah yang menjadi sesepuh disana. Meskipun tidak banyak yang mengetahui pencipta kesenian ini, warga Sukalila meyakini bahwa Rudat sebetulnya jurus silat yang dikembangkan menjadi tarian. Langkah-langkahnya merupakan langkah-langkah silat yang dikembangkan menjadi tarian dan diiringi musik dan shalawat.Seni tradisional Banten ini menjadi rangkaiaan utama tatkala Kesultanan Banten mengadakan hajat besar atau dalam acara penyambutan tamu kehormatan yang berasal dari mancanegara. Pasang surut Seni Rudat sangat erat kaitannya dengan sejarah Kesultanan Banten. Saat kedatangan Belanda, Seni Rudat malah terkubur. Pada zaman Sinuhun Kasultanan Banten IV Pangeran Panembahan Maulana Abdulmufakir Mahmudin Abdul Kadir (1596-1651 M) seni tradisional khas Banten ini benar-benar dilarang Belanda karena dicurigai sebagai ajang untuk mengumpulkan masa untuk berlatih bela diri dan menghimpun kekuatan untuk menentang Belanda. Kebudayaan Tari Dzikir Saman Banten Dzikir Saman yang ada di Banten berbeda dengan Saman yang ada di Aceh, disini para pemainnya terdari dari laki-laki dengan membentuk lingkaran. Sambil berputar, sambil menyebutkan shalawat Nabi Muhammad SAW. Seni Dzikir Saman ini tidak diiringi dengan perangkat alat musik, hanya nyanyian dengan menyebut asma Allah, alok dan gerakan tubuh yang berputar-putar. Seni ini sudah ada sejak dahulu, biasanya dalam acara tertentu seperti Khol Syeh Abdul Khodir Jailani, Rasullan, dan acara keagamaan lainya. Kebudayaan Ubrug Banten Istilah ubrug diambil dari bahasa Sunda yaitu saubrug-ubrug yang artinya bercampur baur. Dalam pelaksanannya, kesenian ubrug ini kegiatannya memang bercampur yaitu antara pemain/pelaku dengan nayaga yang berada dalam satu tempat atau arena. Namun ada pendapat bahwa ubrug diambil dari kata sagebrug yang artinya apa yang ada atau seadanya dicampurkan, maksudnya yaitu antara nayaga dan pemain lainnya bercampur dalam satu lokasi atau tempat pertunjukan. Waditra yang digunakan dalam ubrug yaitu kendang besar, kendang kecil, goong kecil, goong angkeb (dulu disebut katung angkub atau betutut), bonang, rebab, kecrek dan ketuk. Alat-alat ini dibawa oleh satu orang yang disebut tukang kanco karena alat pemikulnya bernama kanco yaitu tempat menggantungkan alat-alat tersebut. Busana yang dipakai yaitu: juru nandung mengenakan pakain tari lengkap dengan kipas untuk digunakan pada waktu nandung. Pelawak atau bodor pakaiannya disesuaikan dengan fungsinya sebagai pelawak yang harus membuat geli penonton. Bagi nayaga tidak ada ketentuan, hanya harus memakai pakaian yang rapi dan sopan dan pakaian pemain disesuaikan dengan peran yang dibawakannya. Urutan pertunjukan ubrug yakni sebagai berikut : (1) Tatalu — gamelan ditabuh sedemikian rupa sehingga kedengaran semarak selama 10-15 menit yang dimulai pada pukul 21.00 WIB. (2) Lalaguan – Ini kemudian disambung tatalu singkat sekitar 2 menit dilanjutkan dengan Nandung. (3) Lawakan — lakon atau cerita yang akan disuguhkan. (4) Soder — yaitu beberapa ronggeng keluar dengan menampilkan goyang pinggulnya. Para pemain memakaikan kain, baju, topi atau yang lainnya ke tubuh ronggeng. Sambil dipakai, para ronggeng terus menari beberapa saat dan kemudian barang-barang tadi dikembalikan kepada pemiliknya dan si pemilik menerima dengan bayaran seadanya. Soder berlangsung + 20-30 menit. Untuk penerangan digunakan lampu blancong, yaitu lampu minyak tanah yang bersumbu dua buah dan cukup besar yang diletakkan di tengah arena. Lampu blancong ini sama dengan oncor dalam ketuk tilu, sama dengan lampu gembrong atau lampu petromak. Ubrug dipentaskan di halaman yang cukup luas dengan tenda seadanya cukup dengan daun kelapa atau rumbia. Pada saat menyaksikan ubrug, penonton mengelilingi arena. Sekitar tahun 1955, ubrug mulai memakai panggung atau ruangan, baik yang tertutup ataupun terbuka di mana para penonton dapat menyaksikannya dari segala arah. Kebudayaan Tari Cokek Banten Cokek adalah sebuah tarian tradisional dari daerah Tangerang yang dimainkan kali pertama sekitar abad ke-19. Ketika itu, tarian ini diperkenalkan oleh Tan Sio Kek, seorang tuan tanah Tionghoa di Tangerang yang sedang merayakan pesta. Dalam perayaan pesta itu, Tan Sio Kek mengundang beberapa orang ternama yang tinggal di Tangerang. Tan Sio Kek mengundang juga tiga orang musisi yang berasal dari daratan Cina. Ketika itu, para musisi Cina hadir sambil membawa beberapa buah alat musik dari negara asalnya. Salah satu alat musik yang mereka bawa yakni Rebab Dua Dawai. Atas permintaan Tan Sio Kek, musisi itu kemudian memainkan alat musik yang mereka bawa dari daratan Cina. Pada saat yang bersamaan, grup musik milik Tan Sio Kek juga memainkan beberapa alat musik tradisional dari daerah Tangerang, seperti seruling, gong serta kendang. Lantunan nada dari perpaduan alat musik daratan Cina dan Tangerang itu kemudian dikenal dengan nama musik Gambang Kromong. Untuk meramaikan suasana pesta, Tan Sio Kek menghadirkan tiga orang wanita. Sesuai permintaan Tan Sio Kek, mereka menari mengikuti alunan musik yang dimainkan para musisi. Para tamu yang menghadiri pesta menyebut ketiga penari itu Cokek. Konon, Cokek merupakan sebutan bagi anak buah Tan Sio Kek. Sejak saat itulah, masyarakat Tangerang di provinsi Banten mulai mengenal nama tari Cokek. Jika awalnya, tari Cokek hanya dimainkan oleh tiga orang penari wanita. Kini, pertunjukan Cokek seringkali dimainkan oleh 5 hingga 7 orang penari wanita dan beberapa orang lelaki sebagai pemain musik. Setiap kali pertunjukan, penampilan penari Cokek disesuaikan dengan ciri khas wanita Banten yakni mengenakan kebaya dan kain panjang sebagai bawahan. Biasanya, warna kebaya yang dikenakan para penari Cokek relatif berkilau ketika terkena sinar lampu, seperti hijau, merah, kuning, serta ungu. Yang tak pernah ketinggalan dari penari Cokek yakni sehelai selendang. Di daerah Tangerang, tari Cokek biasanya dimainkan sebagai pertunjukan hiburan saat warga Cina Benteng menyelenggarakan pesta pernikahan. Warga Cina Benteng merupakan warga Tionghoa keturunan yang tinggal di daerah Tangerang. Seringkali, tarian ini juga dimainkan sebagai tari penyambutan bagi tamu kehormatan yang berkunjung ke Tangerang. Lantunan musik Gambang Kromong dan gerakan penari yang terlihat gemah gemulai menjadi ciri khas dari pertunjukan tari Cokek. Di tengah pertunjukan, penari Cokek biasanya turun ke barisan penonton untuk memilih siapa yang akan diajak untuk menari bersama. Setiap kali tari Cokek dimainkan, tidak semua penari dapat menari bersama penari Cokek. Jika pertunjukan Cokek diselenggarakan untuk acara pernikahan, penari Cokek biasanya mengajak pengantin lelaki atau beberapa orang tamu undangan untuk menari bersama. Ketika diselenggarakan untuk menyambut tamu kehormatan, pejabat setempat dan tamu kehormatan itulah yang mendapat kesempatan pertama menari bersama penari Cokek. Tanda ajakan dari penari yakni sehelai selendang yang dikalungkan ke leher para tamu. Masyarakat Tangerang beranggapan, jika sehelai selendang dari penari Cokek telah dikalungkan, pantang bagi tamu itu ataupun siapa saja untuk menolak. Penolakan itu diyakini dapat mencemarkan nama baik mereka sendiri. Biasanya, para tamu itulah yang nantinya menari bersama para penari Cokek hingga pertunjukan tari Cokek Sumber : http://budayabanten.blogspot.com/

Kebudayaan di Surabaya

Kota Surabaya ialah ibu kota provinsi Jawa Timur, Indonesia yang merupakan kota yang kedua terbesar di Indonesiaselepas Jakarta. Dengan jumlah penduduk metropolisnya yang melebihi empat juta orang, Surabaya ialah pusat perniagaan,perdagangan, industri, serta pendidikan di kawasan timur Pulau Jawa dan sekitarnya. Sejarah Sebelum ketibaan Belanda Surabaya yang terletak di muara Sungai Kali Mas dahulunya merupakan pintu masuk ke Kerajaan Majapahit. Hari jadi Kota Surabaya ditetapkan pada 31 Mei 1293. Pada abad ke-15, Islam mulai tersebar dengan pesat di daerah Surabaya. Sunan Ampel, salah satu anggota walisongo (penyebar agama Islam di tanah Jawa), mendirikan sebuah masjid dan sebuah sekolah agama berasrama di daerah Ampel. Kemudian pada tahun 1530, Surabaya menjadi sebahagian Kesultanan Demak. Selepas kejatuhan Kesultanan Demak, Surabaya menjadi sasaran penaklukan Kesultanan Mataram. Ia diserang oleh Panembahan Senopati pada tahun 1598, olehPanembahan Seda ing Krapyak secara besar-besaran pada tahun 1610, dan oleh Sultan Agung pada tahun 1614. Penyekatan aliran Sungai Brantas oleh Sultan Agung akhirnya memaksa Surabaya menyerah. Pada tahun 1675, Trunojoyo dari Madura menyerang Surabaya, namun akhirnya ia ditaklukkan oleh Syarikat Hindia Timur Belanda (SHTB) pada tahun 1677. Dalam perjanjian antara Paku Buwono II dan SHTB pada 11 November 1743, Surabaya diserahkan penguasaannya kepada SHTB. Zaman Hindia-Belanda Pada zaman Hindia-Belanda, status Surabaya ialah ibu kota Keresidenan Surabaya yang wilayahnya juga mencakupi daerah yang kini merupakan wilayah Kabupaten Gresik,Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang. Pada tahun 1905, Surabaya mencapai status kotamadya (Gemeente), dan pada tahun 1926, ia ditetapkan sebagai ibu kota provinsi Jawa Timur. Sejak itu, Surabaya berkembang menjadi kota moden yang kedua terbesar di Hindia-Belanda selepas Batavia. Sebelum tahun 1900, pusat kota Surabaya hanya berkisar di sekitar Jambatan Merah sahaja. Bagaimanapun menjelang dekad 1920-an, tertumbuhlah kawasan-kawasan pemukiman baru seperti daerah Darmo, Gubeng, Sawahan, dan Ketabang. Pada tahun 1917, sebuah pelabuhan moden dibina di Surabaya. Jepun gugur bom di Surabaya pada 3 Februari 1942 dan pada bulan Mac 1942, berjaya menawan Surabaya. Surabaya kemudian menjadi sasaran serangan udara Pihak Berikat pada 17 Mei 1944. Pertempuran mempertahankan Surabaya Selepas Perang Dunia II tamat pada 25 Oktober 1945, 6,000 orang askar Inggeris-India daripada Briged 49, Divisi 23 yang dipimpin oleh Brigadier Jeneral Aulbertin Walter Sothern Mallaby, mendarat di Surabaya dengan perintah utama untuk melucuti senjata tentera Jepun, serta tentera dan tentera awam militia Indonesia. Mereka juga mengurus bekas tawanan perang dan memulangkan tentera Jepun. Angkatan tentera Jepun menyerahkan semua senjata mereka, akan tetapi tentera awam militia serta melebihi 20,000 orang askar Indonesia enggan berbuat demikian. Pada 26 Oktober 1945, suatu persetujuan antara Bapak Suryo, gabenor Jawa Timur, dengan Brigadier Jeneral Mallaby tercapai bahawa angkatan tentera Indonesia dan tentera awam militia tidak perlu menyerahkan senjata mereka. Malangnya terjadi salah faham antara angkatan tentera Inggeris di Surabaya dengan markas tentera Inggeris di Jakartayang dipimpin oleh Leftenan Jeneral Sir Philip Christison. Pada pukul 11.00 pagi 27 Oktober 1945, pesawat Dakota AU Inggeris dari Jakarta menggugurkan risalah-risalah di Surabaya yang memerintahi semua tentera Indonesia dan tentera awam militia supaya menyerahkan senjata mereka. Para pimpinan tentera dan tentera awam militia Indonesia marah ketika membaca risalah ini dan menganggap bahawa Mallaby tidak menepati perjanjian mereka. Pada 28 Oktober 1945, angkatan-angkatan tentera Indonesia dan tentera awam militia menggempur angkatan tentera Inggeris di Surabaya. Untuk menghindari kekalahan, Mallaby meminta agar Sukarno selaku Presiden Republik Indonesia, dan Mejar Jeneral Douglas Cyril Hawthorn, panglima angkatan tentera Inggeris Divisi 23, ke Surabaya untuk mengusahakan perdamaian. Oleh itu, pada 29 Oktober 1945, Presiden Sukarno, Naib Presiden Mohammad Hatta, dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap bersama-sama Mejar Jeneral Hawthorn pergi ke Surabaya untuk berunding. Pada 30 Oktober 1945, suatu persetujuan tercapai dan ditandatangani oleh Presiden Sukarno dan Mejar Jeneral Hawthorn. Intipati perjanjian tersebut adalah bahawa gencatan senjata diadakan dan angkatan tentera Inggeris akan berundur dari Surabaya dengan secepat mungkin. Kesemua penandatangan kemudian bertolak dari Surabaya dan kembali ke Jakarta. Pada petang hari tersebut, Brigadier Jeneral Mallaby melawat kubu-kubu angkatan tentera Inggeris di Surabaya untuk memberitahu mereka tentang persetujuan tersebut. Ketika mendekati kubu angkatan tentera Inggeris di Bangunan Antarabangsa yang terletak berhampiran dengan Jambatan Merah, kereta Mallaby dikepung oleh angkatan tentera awam militia yang sebelumnya telah mengepung Bangunan Antarabangsa. Kerana menganggap komandannya akan diserang oleh angkatan tentera awam militia, angkatan tentera Inggeris Kompeni D yang dipimpin oleh Mejar Venu K. Gopal melepaskan sedas tembakan ke atas untuk memencarkan para askar awam miltia. Malangnya para askar awam militia menganggap bahawa mereka telah diserang oleh askar-askar Inggeris yang berada di dalam Bangunan Antarabangsa dan menembak balas. Kapten R.C. Smith, pegawai askar Inggeris, melemparkan grenad ke arah askar-askar awam militia Indonesia, akan tetapi grenad tersebut meleset malahan jatuh tepat pada kereta Mallaby yang kemudian terbakar. Akibatnya, Mallaby dan pemandu keretanya maut. Laporan awal yang diberikan oleh angkatan tentera Inggeris di Surabaya kepada markas besar angkatan tentera Inggeris di Jakarta mengatakan bahawa Mallaby maut ditembak oleh angkatan tentera awam militia Indonesia. Leftenan Jeneral Sir Philip Christison amat marah ketika mendengar khabar kematian Mallaby dan mengerahkan 24,000 orang askar tambahan untuk menguasai Surabaya. Pada 9 November 1945, pihak Inggeris mengumumkan kata dua agar semua senjata tentera Indonesia dan tentera awam militia diserahkan dengan segera kepada tentera Inggeris, akan tetapi kata dua itu tidak diendahkan. Pada 10 November 1945, tentera Inggeris mulai mengebom Surabaya dan perang sengit berlangsung terus menerus selama 10 hari. Dua buah pesawat Inggeris ditembak jatuh oleh angkatan tentera Republik Indonesia dan salah seorang penumpang Brigadier Jeneral Robert Guy Loder-Symonds mengalami kecederaan parah dan maut pada hari keesokannya. Pada 20 November 1945, tentera Inggeris berjaya menguasai Surabaya dengan kematian ribuan orang askar Inggeris. Melebihi 20,000 orang askar Indonesia, askar awam milita, serta penduduk Surabaya maut dalam pertempuran ini, dengan seluruh kota Surabaya hancur lebur. Pertempuran ini merupakan salah satu pertempuran yang paling berdarah yang dialami oleh angkatan tentera Inggeris pada dekad 1940-an, dan menunjukkan kesungguhan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan mereka serta mengusir para penjajah. Disebabkan oleh pertempuran ini yang sengit dan besar pengorbanannya, jumlah askar Inggeris di Indonesia mulai dikurangkan secara berperingkat dan digantikan oleh angkatan tentera Belanda. Pertempuran tersebut pada 10 November 1945 kini dikenangi sebagai Hari Pahlawan. Geografi Surabaya yang luasnya 326.36 kilometer persegi terletak di tepi pantai utara provinsi Jawa Timur. Wilayahnya menyempadani Selat Madura di utara dan timur, Kabupaten Sidoarjo di selatan, dan Kabupaten Gresik di barat. Surabaya terdiri daripada dataran rendah yang tingginya antara 3 - 6 meter di atas aras laut, kecuali di bahagian selatan yang mempunyai dua buah bukit landai, iaitu di daerah Lidah dan Gayungan, dengan tingginya antara 25 - 50 meter di atas aras laut. Kawasan baratnya beralun sedikit. Muara Sungai Kali Mas terletak di Surabaya dan merupakan salah satu daripada dua cabang Sungai Brantas. Demografi Suku Jawa ialah suku bangsa majoriti di Surabaya, dan merupakan 53% daripada jumlah penduduknya. Berbanding dengan masyarakat Jawa pada umumnya, suku Jawa di Surabaya memiliki pembawaan yang lebih keras dan egalitarian. Salah satu sebabnya adalah jauhnya Surabaya dari Kraton yang dianggap sebagai pusat kebudayaan Jawa. Surabaya juga merupakan tempat tinggal untuk berbagai-bagai suku bangsa di Indonesia, termasuk suku Tionghoa (25.5%), Madura (7.5%), dan Arab (7%). Sebagai pusat komersil wilayah, banyak ekspatriat juga tinggal di daerah Surabaya, terutamanya di daerah Surabaya Barat, dengan kaum-kaum Tionghoa, Korea, dan Jepun merupakan kaum-kaum ekspatriat yang terbesar. Sebagai pusat pendidikan, Surabaya juga merupakan tempat tinggal untuk para mahasiswa dari berbagai-bagai daerah di seluruh Indonesia, bahkan antara mereka juga terbentuk komuniti-komuniti tersendiri. Agama Agama Islam ialah agama yang terutama di Surabaya. Surabaya merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam yang paling awal di tanah Jawa. Masjid Ampel dibina di sini pada abad ke-15 oleh Sunan Ampel, salah satu perintis walisongo. Di Surabaya terdapat juga penganut Islam Syiah pada jumlah yang cukup ketara. Agama-agama lain yang dianuti di Surabaya termasuk agama Kristian, Katolik, Hinduisme, Buddhisme, dan Konfusianisme. Bahasa Surabaya memiliki loghat bahasa Jawa yang khas yang dipanggil "Boso Suroboyoan". Loghat ini yang dipengaruhi oleh bahagian timur provinsi Jawa Timur dituturkan di daerah Surabaya dan sekitarnya. Boso Suroboyoan terkenal kerana sifat egalitarian, terus-terang, dan tidak membezakan ragam tingkat bahasa seperti bahasa Jawa baku pada umumnya. Masyarakat Surabaya juga dikenali kerana sifat fanatik dan bangga terhadap bahasa mereka. Ekonomi[ Sebagai kota metropolitan, Surabaya merupakan pusat kegiatan ekonomi di daerah Jawa Timur dan sekitarnya. Sebahagian besar penduduknya bergiat dalam sektor-sektorperdagangan, perindustrian, dan perkhidmatan. Banyak perusahaan besar yang berpusat di Surabaya, umpamanya PT Sampoerna Tbk, Maspion, Kumpulan Wing, Unilever, dan PT PAL. Kawasan perindustrian di Surabaya termasuk SIER (Rungkut) dan Margomulyo. Surabaya mempunyai banyak kawasan membeli-belah serta puluhan pasar raya yang besar. Pusat membeli-belah moden yang ternama termasuk: Plaza Tunjungan, Pusat Perdagangan Pakuwon dan Supermal Pakuwon Indah (dalam satu bangunan), Medan Persiaran Golden City (Carrefour), ITC, Persimpangan Bubutan, Plaza Royal, Mal Galaxy, Plaza Marina (dahulu Sinar Montana), serta Plaza Surabaya (lebih dikenali sebagai Delta Plaza oleh masyarakat Surabaya). Pusat membeli-belah tradisional yang ternama termasuk Pasar Turi, Pasar Atom, dan Pusat Perdagangan Darmo (DTC) yang dahulunya dipanggil Pasar Wono Kromo. Kebudayaan[ Surabaya dikenali kerana keseniannya yang khas, termasuk: • Ludruk yang merupakan seni persembahan drama yang menceritakan kehidupan rakyat sehari-hari; • Tarian Remo yang merupakan tarian selamat datang yang umumnya dipersembahkan untuk tetamu khas; • Kidungan yang merupakan pantun yang dinyanyikan, dan mengandungi unsur-unsur kelucuan. Selain daripada seni khas di atas, terdapat juga budaya panggilan arek (sebutan khas Surabaya) yang diterjemahkan sebagai "Cak" untuk lelaki dan Ning untuk wanita. Sebagai suatu usaha untuk memeliharakan kebudayaan Surabaya, pemilihan Cak & Ning Surabaya diadakan sekali setiap tahun. Cak dan Ning Surabaya serta para peserta akhir merupakan duta-duta pelancongan serta ikon generasi muda kota Surabaya. Surabaya juga mengadakan Pesta Cak Durasim Tahunan (FCD), sebuah pesta seni yang juga bertujuan untuk memeliharakan kebudayaan Surabaya dan Jawa Timur pada umumnya, biasanya di Bangunan Cak Durasim, Surabaya. Selain itu, adanya juga Pesta Seni Surabaya (FSS) yang menerima semua bentuk seni, misalnya teater, tarian, muzik, seminar kesusasteraan serta juga pameran lukisan dankemeja-T, baik daripada bentuk-bentuk seni di Surabaya mahupun daripada bentuk-bentuk seni luar. Pesta Seni Surabaya biasanya diadakan setahun sekali pada bulan Jun di Balai Pemuda. Sumber: http://ms.wikipedia.org/wiki/Kota_Surabaya