Rabu, 07 Januari 2015

Kebudayaan di Banten

Sejarah Dan Kebudayaan Provinsi Banten Banten pada masa lalu merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan masyarakat yang terbuka dan makmur. Banten pada abad ke 5 merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara. Salah satu prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara adalah Prasasti Cidanghiyangatau prasasti Lebak, yang ditemukan di kampung lebak di tepi Ci Danghiyang, Kecamatan Munjul, Pandeglang, Banten. Prasasti ini baru ditemukan tahun 1947 dan berisi 2 baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Isi prasasti tersebut mengagungkan keberanian rajaPurnawarman. Setelah runtuhnya kerajaan Tarumanagara (menurut beberapa sejarawan ini akibat serangan kerajaan Sriwijaya), kekuasaan di bagian baratPulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Ci Serayu dan Kali Brebes dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda. Seperti dinyatakan oleh Tome Pires, penjelajah Portugispada tahun 1513, Banten menjadi salah satu pelabuhan penting dari Kerajaan Sunda. Menurut sumber Portugis tersebut, Banten adalah salah satu pelabuhan kerajaan itu selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Kalapa, dan Cimanuk. Diawali dengan penguasaan Kota Pelabuhan Banten, yang dilanjutkan dengan merebut Banten Girang dari Pucuk Umun pada tahun 1527, Maulana Hasanuddin, mendirikan Kesultanan Banten di wilayah bekas Banten Girang. Dan pada tahun 1579, Maulana Yusuf, penerus Maulana Hasanuddin, menghancurkan Pakuan Pajajaran, ibukota atau pakuan (berasal dar kata pakuwuan) Kerajaan Sunda. Dengan demikian pemerintahan di Jawa Barat dilanjutkan oleh Kesultanan Banten. Hal itu ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan Pajajaran ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa diboyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Kerajaan Sunda yang "sah" karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja. Ketika sudah menjadi pusat Kesultanan Banten, sebagaimana dilaporkan oleh J. de Barros, Banten merupakan pelabuhan besar di Asia Tenggara, sejajar dengan Malaka dan Makassar. Kota Banten terletak di pertengahan pesisir sebuah teluk, yang lebarnya sampai tiga mil. Kota itu panjangnya 850 depa. Di tepi laut kota itu panjangnya 400 depa; masuk ke dalam ia lebih panjang. Melalui tengah-tengah kota ada sebuah sungai yang jernih, di mana kapal jenis jung dan gale dapat berlayar masuk. Sepanjang pinggiran kota ada sebuah anak sungai, di sungai yang tidak seberapa lebar itu hanya perahu-perahu kecil saja yang dapat berlayar masuk. Pada sebuah pinggiran kota itu ada sebuah benteng yang dindingnya terbuat dari bata dan lebarnya tujuh telapak tangan. Bangunan-bangunan pertahanannya terbuat dari kayu, terdiri dari dua tingkat, dan dipersenjatai dengan senjata yang baik. Di tengah kota terdapat alun-alun yang digunakan untuk kepentingan kegiatan ketentaraan dan kesenian rakyat dan sebagai pasar di pagi hari. Istana raja terletak di bagian selatan alun-alun. Di sampingnya terdapat bangunan datar yang ditinggikan dan beratap, disebut Srimanganti, yang digunakan sebagai tempat raja bertatap muka dengan rakyatnya. Di sebelah barat alun-alun didirikan sebuah mesjid agung. Pada awal abad ke-17 Masehi, Banten merupakan salah satu pusat perniagaan penting dalam jalur perniagaan internasional di Asia. Tata administrasi modern pemerintahan dan kepelabuhan sangat menunjang bagi tumbuhnya perekonmian masyarakat. Daerah kekuasaannya mencakup juga wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Ketika orang Belanda tiba di Banten untuk pertama kalinya, orang Portugis telah lama masuk ke Banten. Kemudian orang Inggris mendirikan loji di Banten dan disusul oleh orang Belanda. Selain itu, orang-orang Perancis dan Denmark pun pernah datang di Banten. Dalam persaingan antara pedagang Eropa ini, Belanda muncul sebagai pemenang. Orang Portugis melarikan diri dari Banten (1601), setelah armada mereka dihancurkan oleh armada Belanda di perairan Banten. Orang Inggris pun tersingkirkan dari Batavia (1619) dan Banten (1684) akibat tindakan orang Belanda. Pada 1 Januari 1926 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan untuk pembaharuan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi yang lebih luas. Di Pulau Jawa dibentuk pemerintahan otonom provinsi. Provincie West Java adalah provinsi pertama yang dibentuk di wilayah Hindia Belanda yang diresmikan dengan surat keputusan tanggal 1 Januari 1926, dan diundangkan dalam Staatsblad (Lembaran Negara) 1926 No. 326, 1928 No. 27 jo No. 28, 1928 No. 438, dan 1932 No. 507. Banten menjadi salah satu keresidenan dalam Provincie West Java disamping Batavia, Buitenzorg (Bogor), Priangan, dan Cirebon Kebudayaan Pencak Silat Pencak silat merupakan seni beladiri yang berakar dari budaya asli bangsa Indonesia. Disinyalir dari abad ke 7 Masehi silat sudah menyebar ke pelosok nusantara. Perkembangan dan penyebaran silat secara historis mulai tercatat ketika penyebarannya banyak dipengaruhi oleh kaum Ulama, seiring dengan penyebaran agama Islam pada abad ke15 di Nusantara. Kala itu pencak silat telah diajarkan bersama-sama dengan pelajaran agama di pesantren-pesatren dan juga surau-surau. Budaya sholat dan silat menjadi satu keterikatan erat dalam penyebaran pencak silat. Silat lalu berkembang dari sekedar ilmu beladiri dan seni tari rakyat, menjadi bagian dari pendidikan bela negara untuk menghadapi penjajah. Disamping itu juga pencak silat menjadi bagian dari latihan spiritual. Banten yang namanya sangat dikenal untuk ilmu silatnya juga penyebarannya tidak terlepas dari ajaran agama Islam. Tidak heran banyak nama dari jurus dan gerakan perguruan silat asli Banten diambil dari aksara dan bahasa arab. Pencak silat Banten mulai dikenal seiring dengan berdirinya kerajaan Islam Banten yang didirikan pada abad 15 masehi dengan raja pertamanya Sultan Hasanudin. Perkembangan pencak silat pada saat itu tidak terlepas dari dijadikannya silat sebagai alat untuk penggemblengan para prajurit kerajaan sebagai bekal ketangkasan bela negara yang diajarkan oleh para guru silat yang mengusasai berbagai aliran. Silat juga sebagai dasar alat pertahanan kerajaan dan masyarakat umum Banten dalam memerangi kolonialisme para penjajah. Pada saat ini pun Banten masih dikenal dan diakui secara luas dengan pendekar dan jawaranya, sebutan untuk orang-orang yang mahir dalam ilmu silat. Kebudayaan Debus Debus merupakan kesenian bela diri dari Banten. Kesenian ini diciptakan pada abad ke-16, pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570). Debus, suatu kesenian yang mempertunjukan kemampuan manusia yang luar biasa, kebal senjata tajam, kebal api, minum air keras, memasukan benda kedalam kelapa utuh, menggoreng telur di kepala dan lain-lain. Debus dalam bahasa Arab yang berarti senjata tajam yang terbuat dari besi, mempunyai ujung yang runcing dan berbentuk sedikit bundar. Dengan alat inilah para pemain debus dilukai, dan biasanya tidak dapat ditembus walaupun debus itu dipukul berkali kali oleh orang lain. Atraksi atraksi kekebalan badan ini merupakan variasi lain yang ada dipertunjukan debus. Antara lain, menusuk perut dengan benda tajam atau tombak, mengiris tubuh dengan golok sampai terluka maupun tanpa luka, makan bara api, memasukkan jarum yang panjang ke lidah, kulit, pipi sampai tembus dan tidak terluka. Mengiris anggota tubuh sampai terluka dan mengeluarkan darah tetapi dapat disembuhkan pada seketika itu juga, menyiram tubuh dengan air keras sampai pakaian yang melekat dibadan hancur, mengunyah beling/serpihan kaca, membakar tubuh. Dan masih banyak lagi atraksi yang mereka lakukan. Dibanten sendiri kesenian debus atau keahlian melakukan debus menjadi sesuatu yang lumrah dan banyak perguruan yang mengajarkannya. Kebudayaan Rudat Banten Rudat adalah kesenian tradisional khas Banten yang merupakan perpaduan unsur tari, syair shalawat, dan olah kanuragan yang berpadu dengan tabuhan terbang dan tepuk tangan. Rudat terdiri dari sejumlah musik perkusi yang dimainkan oleh setidaknya delapan orang penerbang (pemain musik ) yang mengiringi tujuh hingga dua belas penari.Menurut beberapa tokoh Rudat, nama Rudat diambil dari nama alat yang dimainkan dalam kesenian ini. Alat musik tersebut berbentuk bundar yang dimainkan dengan cara dipukul. Seni Rudat mulai ada dan berkembang pada masa pemerintahan Sinuhun Kesultanan Banten II, Pangeran Surosowan Panembahan Pakalangan Gede Maulana Yusuf (1570-1580 M). Tidak banyak yang mengetahui siapa yang menciptakan kesenian ini, karena sekarang sesepuh yang mengetahui seluk-beluk Rudat sangat sedikit bahkan sebagian sudah meninggal. Naskah yag berisi sejarah Rudat dan nilai-nilai filosofis tentang rudat pun hanya dimiliki oleh satu sampai dua orang yang salah satunya merupakan anak dari mendiang pemilik naskah yang menjadi sesepuh disana. Meskipun tidak banyak yang mengetahui pencipta kesenian ini, warga Sukalila meyakini bahwa Rudat sebetulnya jurus silat yang dikembangkan menjadi tarian. Langkah-langkahnya merupakan langkah-langkah silat yang dikembangkan menjadi tarian dan diiringi musik dan shalawat.Seni tradisional Banten ini menjadi rangkaiaan utama tatkala Kesultanan Banten mengadakan hajat besar atau dalam acara penyambutan tamu kehormatan yang berasal dari mancanegara. Pasang surut Seni Rudat sangat erat kaitannya dengan sejarah Kesultanan Banten. Saat kedatangan Belanda, Seni Rudat malah terkubur. Pada zaman Sinuhun Kasultanan Banten IV Pangeran Panembahan Maulana Abdulmufakir Mahmudin Abdul Kadir (1596-1651 M) seni tradisional khas Banten ini benar-benar dilarang Belanda karena dicurigai sebagai ajang untuk mengumpulkan masa untuk berlatih bela diri dan menghimpun kekuatan untuk menentang Belanda. Kebudayaan Tari Dzikir Saman Banten Dzikir Saman yang ada di Banten berbeda dengan Saman yang ada di Aceh, disini para pemainnya terdari dari laki-laki dengan membentuk lingkaran. Sambil berputar, sambil menyebutkan shalawat Nabi Muhammad SAW. Seni Dzikir Saman ini tidak diiringi dengan perangkat alat musik, hanya nyanyian dengan menyebut asma Allah, alok dan gerakan tubuh yang berputar-putar. Seni ini sudah ada sejak dahulu, biasanya dalam acara tertentu seperti Khol Syeh Abdul Khodir Jailani, Rasullan, dan acara keagamaan lainya. Kebudayaan Ubrug Banten Istilah ubrug diambil dari bahasa Sunda yaitu saubrug-ubrug yang artinya bercampur baur. Dalam pelaksanannya, kesenian ubrug ini kegiatannya memang bercampur yaitu antara pemain/pelaku dengan nayaga yang berada dalam satu tempat atau arena. Namun ada pendapat bahwa ubrug diambil dari kata sagebrug yang artinya apa yang ada atau seadanya dicampurkan, maksudnya yaitu antara nayaga dan pemain lainnya bercampur dalam satu lokasi atau tempat pertunjukan. Waditra yang digunakan dalam ubrug yaitu kendang besar, kendang kecil, goong kecil, goong angkeb (dulu disebut katung angkub atau betutut), bonang, rebab, kecrek dan ketuk. Alat-alat ini dibawa oleh satu orang yang disebut tukang kanco karena alat pemikulnya bernama kanco yaitu tempat menggantungkan alat-alat tersebut. Busana yang dipakai yaitu: juru nandung mengenakan pakain tari lengkap dengan kipas untuk digunakan pada waktu nandung. Pelawak atau bodor pakaiannya disesuaikan dengan fungsinya sebagai pelawak yang harus membuat geli penonton. Bagi nayaga tidak ada ketentuan, hanya harus memakai pakaian yang rapi dan sopan dan pakaian pemain disesuaikan dengan peran yang dibawakannya. Urutan pertunjukan ubrug yakni sebagai berikut : (1) Tatalu — gamelan ditabuh sedemikian rupa sehingga kedengaran semarak selama 10-15 menit yang dimulai pada pukul 21.00 WIB. (2) Lalaguan – Ini kemudian disambung tatalu singkat sekitar 2 menit dilanjutkan dengan Nandung. (3) Lawakan — lakon atau cerita yang akan disuguhkan. (4) Soder — yaitu beberapa ronggeng keluar dengan menampilkan goyang pinggulnya. Para pemain memakaikan kain, baju, topi atau yang lainnya ke tubuh ronggeng. Sambil dipakai, para ronggeng terus menari beberapa saat dan kemudian barang-barang tadi dikembalikan kepada pemiliknya dan si pemilik menerima dengan bayaran seadanya. Soder berlangsung + 20-30 menit. Untuk penerangan digunakan lampu blancong, yaitu lampu minyak tanah yang bersumbu dua buah dan cukup besar yang diletakkan di tengah arena. Lampu blancong ini sama dengan oncor dalam ketuk tilu, sama dengan lampu gembrong atau lampu petromak. Ubrug dipentaskan di halaman yang cukup luas dengan tenda seadanya cukup dengan daun kelapa atau rumbia. Pada saat menyaksikan ubrug, penonton mengelilingi arena. Sekitar tahun 1955, ubrug mulai memakai panggung atau ruangan, baik yang tertutup ataupun terbuka di mana para penonton dapat menyaksikannya dari segala arah. Kebudayaan Tari Cokek Banten Cokek adalah sebuah tarian tradisional dari daerah Tangerang yang dimainkan kali pertama sekitar abad ke-19. Ketika itu, tarian ini diperkenalkan oleh Tan Sio Kek, seorang tuan tanah Tionghoa di Tangerang yang sedang merayakan pesta. Dalam perayaan pesta itu, Tan Sio Kek mengundang beberapa orang ternama yang tinggal di Tangerang. Tan Sio Kek mengundang juga tiga orang musisi yang berasal dari daratan Cina. Ketika itu, para musisi Cina hadir sambil membawa beberapa buah alat musik dari negara asalnya. Salah satu alat musik yang mereka bawa yakni Rebab Dua Dawai. Atas permintaan Tan Sio Kek, musisi itu kemudian memainkan alat musik yang mereka bawa dari daratan Cina. Pada saat yang bersamaan, grup musik milik Tan Sio Kek juga memainkan beberapa alat musik tradisional dari daerah Tangerang, seperti seruling, gong serta kendang. Lantunan nada dari perpaduan alat musik daratan Cina dan Tangerang itu kemudian dikenal dengan nama musik Gambang Kromong. Untuk meramaikan suasana pesta, Tan Sio Kek menghadirkan tiga orang wanita. Sesuai permintaan Tan Sio Kek, mereka menari mengikuti alunan musik yang dimainkan para musisi. Para tamu yang menghadiri pesta menyebut ketiga penari itu Cokek. Konon, Cokek merupakan sebutan bagi anak buah Tan Sio Kek. Sejak saat itulah, masyarakat Tangerang di provinsi Banten mulai mengenal nama tari Cokek. Jika awalnya, tari Cokek hanya dimainkan oleh tiga orang penari wanita. Kini, pertunjukan Cokek seringkali dimainkan oleh 5 hingga 7 orang penari wanita dan beberapa orang lelaki sebagai pemain musik. Setiap kali pertunjukan, penampilan penari Cokek disesuaikan dengan ciri khas wanita Banten yakni mengenakan kebaya dan kain panjang sebagai bawahan. Biasanya, warna kebaya yang dikenakan para penari Cokek relatif berkilau ketika terkena sinar lampu, seperti hijau, merah, kuning, serta ungu. Yang tak pernah ketinggalan dari penari Cokek yakni sehelai selendang. Di daerah Tangerang, tari Cokek biasanya dimainkan sebagai pertunjukan hiburan saat warga Cina Benteng menyelenggarakan pesta pernikahan. Warga Cina Benteng merupakan warga Tionghoa keturunan yang tinggal di daerah Tangerang. Seringkali, tarian ini juga dimainkan sebagai tari penyambutan bagi tamu kehormatan yang berkunjung ke Tangerang. Lantunan musik Gambang Kromong dan gerakan penari yang terlihat gemah gemulai menjadi ciri khas dari pertunjukan tari Cokek. Di tengah pertunjukan, penari Cokek biasanya turun ke barisan penonton untuk memilih siapa yang akan diajak untuk menari bersama. Setiap kali tari Cokek dimainkan, tidak semua penari dapat menari bersama penari Cokek. Jika pertunjukan Cokek diselenggarakan untuk acara pernikahan, penari Cokek biasanya mengajak pengantin lelaki atau beberapa orang tamu undangan untuk menari bersama. Ketika diselenggarakan untuk menyambut tamu kehormatan, pejabat setempat dan tamu kehormatan itulah yang mendapat kesempatan pertama menari bersama penari Cokek. Tanda ajakan dari penari yakni sehelai selendang yang dikalungkan ke leher para tamu. Masyarakat Tangerang beranggapan, jika sehelai selendang dari penari Cokek telah dikalungkan, pantang bagi tamu itu ataupun siapa saja untuk menolak. Penolakan itu diyakini dapat mencemarkan nama baik mereka sendiri. Biasanya, para tamu itulah yang nantinya menari bersama para penari Cokek hingga pertunjukan tari Cokek Sumber : http://budayabanten.blogspot.com/

Kebudayaan di Surabaya

Kota Surabaya ialah ibu kota provinsi Jawa Timur, Indonesia yang merupakan kota yang kedua terbesar di Indonesiaselepas Jakarta. Dengan jumlah penduduk metropolisnya yang melebihi empat juta orang, Surabaya ialah pusat perniagaan,perdagangan, industri, serta pendidikan di kawasan timur Pulau Jawa dan sekitarnya. Sejarah Sebelum ketibaan Belanda Surabaya yang terletak di muara Sungai Kali Mas dahulunya merupakan pintu masuk ke Kerajaan Majapahit. Hari jadi Kota Surabaya ditetapkan pada 31 Mei 1293. Pada abad ke-15, Islam mulai tersebar dengan pesat di daerah Surabaya. Sunan Ampel, salah satu anggota walisongo (penyebar agama Islam di tanah Jawa), mendirikan sebuah masjid dan sebuah sekolah agama berasrama di daerah Ampel. Kemudian pada tahun 1530, Surabaya menjadi sebahagian Kesultanan Demak. Selepas kejatuhan Kesultanan Demak, Surabaya menjadi sasaran penaklukan Kesultanan Mataram. Ia diserang oleh Panembahan Senopati pada tahun 1598, olehPanembahan Seda ing Krapyak secara besar-besaran pada tahun 1610, dan oleh Sultan Agung pada tahun 1614. Penyekatan aliran Sungai Brantas oleh Sultan Agung akhirnya memaksa Surabaya menyerah. Pada tahun 1675, Trunojoyo dari Madura menyerang Surabaya, namun akhirnya ia ditaklukkan oleh Syarikat Hindia Timur Belanda (SHTB) pada tahun 1677. Dalam perjanjian antara Paku Buwono II dan SHTB pada 11 November 1743, Surabaya diserahkan penguasaannya kepada SHTB. Zaman Hindia-Belanda Pada zaman Hindia-Belanda, status Surabaya ialah ibu kota Keresidenan Surabaya yang wilayahnya juga mencakupi daerah yang kini merupakan wilayah Kabupaten Gresik,Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang. Pada tahun 1905, Surabaya mencapai status kotamadya (Gemeente), dan pada tahun 1926, ia ditetapkan sebagai ibu kota provinsi Jawa Timur. Sejak itu, Surabaya berkembang menjadi kota moden yang kedua terbesar di Hindia-Belanda selepas Batavia. Sebelum tahun 1900, pusat kota Surabaya hanya berkisar di sekitar Jambatan Merah sahaja. Bagaimanapun menjelang dekad 1920-an, tertumbuhlah kawasan-kawasan pemukiman baru seperti daerah Darmo, Gubeng, Sawahan, dan Ketabang. Pada tahun 1917, sebuah pelabuhan moden dibina di Surabaya. Jepun gugur bom di Surabaya pada 3 Februari 1942 dan pada bulan Mac 1942, berjaya menawan Surabaya. Surabaya kemudian menjadi sasaran serangan udara Pihak Berikat pada 17 Mei 1944. Pertempuran mempertahankan Surabaya Selepas Perang Dunia II tamat pada 25 Oktober 1945, 6,000 orang askar Inggeris-India daripada Briged 49, Divisi 23 yang dipimpin oleh Brigadier Jeneral Aulbertin Walter Sothern Mallaby, mendarat di Surabaya dengan perintah utama untuk melucuti senjata tentera Jepun, serta tentera dan tentera awam militia Indonesia. Mereka juga mengurus bekas tawanan perang dan memulangkan tentera Jepun. Angkatan tentera Jepun menyerahkan semua senjata mereka, akan tetapi tentera awam militia serta melebihi 20,000 orang askar Indonesia enggan berbuat demikian. Pada 26 Oktober 1945, suatu persetujuan antara Bapak Suryo, gabenor Jawa Timur, dengan Brigadier Jeneral Mallaby tercapai bahawa angkatan tentera Indonesia dan tentera awam militia tidak perlu menyerahkan senjata mereka. Malangnya terjadi salah faham antara angkatan tentera Inggeris di Surabaya dengan markas tentera Inggeris di Jakartayang dipimpin oleh Leftenan Jeneral Sir Philip Christison. Pada pukul 11.00 pagi 27 Oktober 1945, pesawat Dakota AU Inggeris dari Jakarta menggugurkan risalah-risalah di Surabaya yang memerintahi semua tentera Indonesia dan tentera awam militia supaya menyerahkan senjata mereka. Para pimpinan tentera dan tentera awam militia Indonesia marah ketika membaca risalah ini dan menganggap bahawa Mallaby tidak menepati perjanjian mereka. Pada 28 Oktober 1945, angkatan-angkatan tentera Indonesia dan tentera awam militia menggempur angkatan tentera Inggeris di Surabaya. Untuk menghindari kekalahan, Mallaby meminta agar Sukarno selaku Presiden Republik Indonesia, dan Mejar Jeneral Douglas Cyril Hawthorn, panglima angkatan tentera Inggeris Divisi 23, ke Surabaya untuk mengusahakan perdamaian. Oleh itu, pada 29 Oktober 1945, Presiden Sukarno, Naib Presiden Mohammad Hatta, dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap bersama-sama Mejar Jeneral Hawthorn pergi ke Surabaya untuk berunding. Pada 30 Oktober 1945, suatu persetujuan tercapai dan ditandatangani oleh Presiden Sukarno dan Mejar Jeneral Hawthorn. Intipati perjanjian tersebut adalah bahawa gencatan senjata diadakan dan angkatan tentera Inggeris akan berundur dari Surabaya dengan secepat mungkin. Kesemua penandatangan kemudian bertolak dari Surabaya dan kembali ke Jakarta. Pada petang hari tersebut, Brigadier Jeneral Mallaby melawat kubu-kubu angkatan tentera Inggeris di Surabaya untuk memberitahu mereka tentang persetujuan tersebut. Ketika mendekati kubu angkatan tentera Inggeris di Bangunan Antarabangsa yang terletak berhampiran dengan Jambatan Merah, kereta Mallaby dikepung oleh angkatan tentera awam militia yang sebelumnya telah mengepung Bangunan Antarabangsa. Kerana menganggap komandannya akan diserang oleh angkatan tentera awam militia, angkatan tentera Inggeris Kompeni D yang dipimpin oleh Mejar Venu K. Gopal melepaskan sedas tembakan ke atas untuk memencarkan para askar awam miltia. Malangnya para askar awam militia menganggap bahawa mereka telah diserang oleh askar-askar Inggeris yang berada di dalam Bangunan Antarabangsa dan menembak balas. Kapten R.C. Smith, pegawai askar Inggeris, melemparkan grenad ke arah askar-askar awam militia Indonesia, akan tetapi grenad tersebut meleset malahan jatuh tepat pada kereta Mallaby yang kemudian terbakar. Akibatnya, Mallaby dan pemandu keretanya maut. Laporan awal yang diberikan oleh angkatan tentera Inggeris di Surabaya kepada markas besar angkatan tentera Inggeris di Jakarta mengatakan bahawa Mallaby maut ditembak oleh angkatan tentera awam militia Indonesia. Leftenan Jeneral Sir Philip Christison amat marah ketika mendengar khabar kematian Mallaby dan mengerahkan 24,000 orang askar tambahan untuk menguasai Surabaya. Pada 9 November 1945, pihak Inggeris mengumumkan kata dua agar semua senjata tentera Indonesia dan tentera awam militia diserahkan dengan segera kepada tentera Inggeris, akan tetapi kata dua itu tidak diendahkan. Pada 10 November 1945, tentera Inggeris mulai mengebom Surabaya dan perang sengit berlangsung terus menerus selama 10 hari. Dua buah pesawat Inggeris ditembak jatuh oleh angkatan tentera Republik Indonesia dan salah seorang penumpang Brigadier Jeneral Robert Guy Loder-Symonds mengalami kecederaan parah dan maut pada hari keesokannya. Pada 20 November 1945, tentera Inggeris berjaya menguasai Surabaya dengan kematian ribuan orang askar Inggeris. Melebihi 20,000 orang askar Indonesia, askar awam milita, serta penduduk Surabaya maut dalam pertempuran ini, dengan seluruh kota Surabaya hancur lebur. Pertempuran ini merupakan salah satu pertempuran yang paling berdarah yang dialami oleh angkatan tentera Inggeris pada dekad 1940-an, dan menunjukkan kesungguhan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan mereka serta mengusir para penjajah. Disebabkan oleh pertempuran ini yang sengit dan besar pengorbanannya, jumlah askar Inggeris di Indonesia mulai dikurangkan secara berperingkat dan digantikan oleh angkatan tentera Belanda. Pertempuran tersebut pada 10 November 1945 kini dikenangi sebagai Hari Pahlawan. Geografi Surabaya yang luasnya 326.36 kilometer persegi terletak di tepi pantai utara provinsi Jawa Timur. Wilayahnya menyempadani Selat Madura di utara dan timur, Kabupaten Sidoarjo di selatan, dan Kabupaten Gresik di barat. Surabaya terdiri daripada dataran rendah yang tingginya antara 3 - 6 meter di atas aras laut, kecuali di bahagian selatan yang mempunyai dua buah bukit landai, iaitu di daerah Lidah dan Gayungan, dengan tingginya antara 25 - 50 meter di atas aras laut. Kawasan baratnya beralun sedikit. Muara Sungai Kali Mas terletak di Surabaya dan merupakan salah satu daripada dua cabang Sungai Brantas. Demografi Suku Jawa ialah suku bangsa majoriti di Surabaya, dan merupakan 53% daripada jumlah penduduknya. Berbanding dengan masyarakat Jawa pada umumnya, suku Jawa di Surabaya memiliki pembawaan yang lebih keras dan egalitarian. Salah satu sebabnya adalah jauhnya Surabaya dari Kraton yang dianggap sebagai pusat kebudayaan Jawa. Surabaya juga merupakan tempat tinggal untuk berbagai-bagai suku bangsa di Indonesia, termasuk suku Tionghoa (25.5%), Madura (7.5%), dan Arab (7%). Sebagai pusat komersil wilayah, banyak ekspatriat juga tinggal di daerah Surabaya, terutamanya di daerah Surabaya Barat, dengan kaum-kaum Tionghoa, Korea, dan Jepun merupakan kaum-kaum ekspatriat yang terbesar. Sebagai pusat pendidikan, Surabaya juga merupakan tempat tinggal untuk para mahasiswa dari berbagai-bagai daerah di seluruh Indonesia, bahkan antara mereka juga terbentuk komuniti-komuniti tersendiri. Agama Agama Islam ialah agama yang terutama di Surabaya. Surabaya merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam yang paling awal di tanah Jawa. Masjid Ampel dibina di sini pada abad ke-15 oleh Sunan Ampel, salah satu perintis walisongo. Di Surabaya terdapat juga penganut Islam Syiah pada jumlah yang cukup ketara. Agama-agama lain yang dianuti di Surabaya termasuk agama Kristian, Katolik, Hinduisme, Buddhisme, dan Konfusianisme. Bahasa Surabaya memiliki loghat bahasa Jawa yang khas yang dipanggil "Boso Suroboyoan". Loghat ini yang dipengaruhi oleh bahagian timur provinsi Jawa Timur dituturkan di daerah Surabaya dan sekitarnya. Boso Suroboyoan terkenal kerana sifat egalitarian, terus-terang, dan tidak membezakan ragam tingkat bahasa seperti bahasa Jawa baku pada umumnya. Masyarakat Surabaya juga dikenali kerana sifat fanatik dan bangga terhadap bahasa mereka. Ekonomi[ Sebagai kota metropolitan, Surabaya merupakan pusat kegiatan ekonomi di daerah Jawa Timur dan sekitarnya. Sebahagian besar penduduknya bergiat dalam sektor-sektorperdagangan, perindustrian, dan perkhidmatan. Banyak perusahaan besar yang berpusat di Surabaya, umpamanya PT Sampoerna Tbk, Maspion, Kumpulan Wing, Unilever, dan PT PAL. Kawasan perindustrian di Surabaya termasuk SIER (Rungkut) dan Margomulyo. Surabaya mempunyai banyak kawasan membeli-belah serta puluhan pasar raya yang besar. Pusat membeli-belah moden yang ternama termasuk: Plaza Tunjungan, Pusat Perdagangan Pakuwon dan Supermal Pakuwon Indah (dalam satu bangunan), Medan Persiaran Golden City (Carrefour), ITC, Persimpangan Bubutan, Plaza Royal, Mal Galaxy, Plaza Marina (dahulu Sinar Montana), serta Plaza Surabaya (lebih dikenali sebagai Delta Plaza oleh masyarakat Surabaya). Pusat membeli-belah tradisional yang ternama termasuk Pasar Turi, Pasar Atom, dan Pusat Perdagangan Darmo (DTC) yang dahulunya dipanggil Pasar Wono Kromo. Kebudayaan[ Surabaya dikenali kerana keseniannya yang khas, termasuk: • Ludruk yang merupakan seni persembahan drama yang menceritakan kehidupan rakyat sehari-hari; • Tarian Remo yang merupakan tarian selamat datang yang umumnya dipersembahkan untuk tetamu khas; • Kidungan yang merupakan pantun yang dinyanyikan, dan mengandungi unsur-unsur kelucuan. Selain daripada seni khas di atas, terdapat juga budaya panggilan arek (sebutan khas Surabaya) yang diterjemahkan sebagai "Cak" untuk lelaki dan Ning untuk wanita. Sebagai suatu usaha untuk memeliharakan kebudayaan Surabaya, pemilihan Cak & Ning Surabaya diadakan sekali setiap tahun. Cak dan Ning Surabaya serta para peserta akhir merupakan duta-duta pelancongan serta ikon generasi muda kota Surabaya. Surabaya juga mengadakan Pesta Cak Durasim Tahunan (FCD), sebuah pesta seni yang juga bertujuan untuk memeliharakan kebudayaan Surabaya dan Jawa Timur pada umumnya, biasanya di Bangunan Cak Durasim, Surabaya. Selain itu, adanya juga Pesta Seni Surabaya (FSS) yang menerima semua bentuk seni, misalnya teater, tarian, muzik, seminar kesusasteraan serta juga pameran lukisan dankemeja-T, baik daripada bentuk-bentuk seni di Surabaya mahupun daripada bentuk-bentuk seni luar. Pesta Seni Surabaya biasanya diadakan setahun sekali pada bulan Jun di Balai Pemuda. Sumber: http://ms.wikipedia.org/wiki/Kota_Surabaya

Selasa, 06 Januari 2015

Kebudayaan di Kalimantan Barat

Kebudayaan Kalimantan Barat Kalimantan Barat adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Kalimantan, dan beribukotakan Pontianak. Daerah Kalimantan Barat termasuk salah satu daerah yang dapat dijuluki propinsi "Seribu Sungai". Julukan ini selaras dengan kondisi geografis yang mempunyai ratusan sungai besar dan kecil yang diantaranya dapat dan sering dilayari. Beberapa sungai besar sampai saat ini masih merupakan urat nadi dan jalur utama untuk angkutan daerah pedalaman, walaupun prasarana jalan darat telah dapat menjangkau sebagian besar kecamatan. Walaupun sebagian kecil wilayah Kalbar merupakan perairan laut, akan tetapi Kalbar memiliki puluhan pulau besar dan kecil (sebagian tidak berpenghuni. Banyaknya jenis kebudayaan tarian di Kalimantan Barat Jenis kebudayaan Kalimantan Barat Tarian Monong. Tari Monong. Foto: wordpress.com Tarian penolak penyakit agar penderita mendapatkan kesembuhan. Dalam tarian ini, si penari berlaku seperti dukun lengkap dengan jampi-jampinya. Tari Zapin pada masyarakat Melayu kalimantan Barat, Merupakan suatu tari pergaulan dalam masyarakat, sebagai media ungkap kebahagiaan dalam pergaulan. jika ia menggunakan properti Tembung, maka disebut Zapin tembung, jika menggunakan kipas maka di sebut Zapin Kipas. Tari Jonggan merupkan tari pergaulan masyarakat Dayak Kanayatn di daerah Kubu Raya, Mempawah, Landak yang masih dapat ditemukan dan dinikmati secara visual, tarian ini meceritakan suka cita dan kebahagiaan dalam pergaulan muda mudi Dayak. Dalam tarian ini para tamu yang datang pada umumnya diajak untuk menari bersama. Tradisi Kalimantan Barat Tradisi Robo-robo Robo-robo berasal dari kata Robo atau Rabu. Tradisi Robo-Robo Diadakan pada Rabu terakhir bulan Sapar (Hijriah) yang menyimbolkan keberkahan. Menurut cerita, ritus ini merupakan peringatan atau napak tilas kedatangan Pangeran Mas Surya Negara dari Kerajaan Matan (Martapura) ke Kerajaan Mempawah (Pontianak). Ritual tersebut dimulai ketika Raja, Ratu Mempawah, putra-putrinya serta punggawa dan pengawal berangkat dari Desa Benteng, Mempawah, menggunakan perahu bidar, yakni perahu kerajaan dari Istana Amantubillah. Kapal tersebut akan berlayar menuju muara Sungai Mempawah yang terletak di Desa Kuala Mempawah dengan jarak tempuh sekitar satu jam perjalanan. Di muara sungai akan dilakukan semacam upacara "penyambutan" ke laut seperti ketika Opu Daeng Menambon tiba di muara sungai tersebut untuk pertama kalinya. Robo-robo itu sendiri dimaksudkan sebagai suatu peringatan serangkaian kejadian penting bermula Haulan pada hari Senin malam Selasa terakhir bulan Syafar guna mengenang hari wafatnya Opu Daeng Manambun. Bagi warga keturunan Bugis di Kalbar, robo-robo biasanya diperingati dengan makan bersama keluarga di halaman rumah. Tidak hanya di rumah, makan bersama juga dilakukan siswa di berbagai sekolah baik tingkat SD hingga SMU pada Rabu pagi. Kebudayaan Kalimantan Barat Wayang gantung, sebuah kesenian yang hampir punah dari daerah Singkawang, Kalimantan Barat. . Namanya hampir tidak pernah kedengaran lagi. Salah seorang kakek Chin Nen Sin di Desa Lirang, Singkawang Selatan masih menyimpan boneka wayang gantung asli dari Cina. Kakek itu menyimpan rapih boneka wayang gantung yang telah berusia 200 tahunan. Boneka-boneka wayang itu dismpan rapih dalam peti dan baru dikeluarkan saat pertunjukkan berlangsung. Boneka wayang gantung merupakan sisa-sisa tradisi warisan leluhur etnis Tionghoa di Singkawang. Konon, koleksi boneka ini hanya tinggal satu-satunya di Indonesia. Pertunjukkan wayang gantung dimainkan oleh 112 orang. Semua pemainnya adalah kakek-kakek. Hmm, generasi muda belum banyak yang tahu tentang pertunjukkan wayang ini. Jadilah, kakek-kakek yang paling menguasainya. Pertunjukkan wayang gantung diiringi dengan kecapi dan lagu Mandarin. Selain itu, ceritanya juga dituturkan dalam bahasa Cina. Dan masih banyak lainya tradisi serta kebudayaan yang ada di kalimantan Barat Kebudayaan Kalimantan Barat UPACARA ADAT NAIK DANGO / GAWAI DAYAK ( Kalimantan Barat ) Naik Dango atau Gawai Dayak merupakan Upacara adat masyarakat kalimantan Barat ( Dayak Kanayatn), yang dilakukan dari daerah Kabupaten Landak, Kabupaten Pontianak, hingga Kabupaten Sanggau. Gawai Dayak bukanlah peristiwa budaya yang murni tradisional, baik dilihat dari tempat pelaksanaan maupun isinya. Gawai Dayak merupakan perkembangan lebih lanjut dari acara pergelaran kesenian Dayak. Upacara adat Naik Dango yang merupakan sebuah upacara untuk menghaturkan rasa syukur terhadap Nek Jubata atau Sang Pencipta atas berkah yang diberikannya berupa hasil panen (padi) yang berlimpah. Upacara ini rutin dilaksanakan setiap tahun setelah masa panen . Upacara adat syukuran setelah panen ini dilaksanakan oleh masyarakat Dayak dengan nama berbeda-beda. Orang Dayak Hulu menyebutnya dengan Gawai, di Kabupaten Sambas dan Bengkayang disebut Maka‘ Dio, sedangkan orang Dayak Kayaan, di Kampung Mendalam, Kabupaten Putus Sibau menyebutnya dengan Dange. Upacara adat Naik Dango ditandai dengan menyimpan seikat padi yang baru selesai di panen di dalam dango (lumbung padi) oleh setiap kepala keluarga masyarakat Dayak yang bertani/ berladang. Padi yang disimpan di dalam Dango nantinya akan dijadikan bibit padi untuk ditanam bersama-sama dan sisanya menjadi cadangan pangan untuk masa-masa paceklik. Selanjutnya, menimang padi dan diikuti dengan pemberkatan padi oleh ketua adat. Upacara Naik Dango ini terdiri dari 4 kegiatan utama, diantaranya : 1. Berjuluk Batutuk 2. Acara Matik 3. Nyangahathn 4. Kunjungan Rumah Tetangga atau Kerabat 1. Berjuluk Batutuk Berjuluk Batutuk merupakan kegiatan pertama dari upacara naik dango, berjuluk batutuk merupakan suatu kegiatan menumbuk padi dalam lesung untuk mendapatkan beras, tepung beras (sunguh) atau beras ketan (poe’) untuk persiapan ritual makan bersama atau sesaji. 2. Acara Matik Matik merupakan kegiatan kedua upacara naik dango, kegiatan ini dilaksanakan setelah setelah kegiatan Berjuluk Batutuk. Matik merupakan kegiatan mengucapkan doa untuk menyampaikan maksud dan niatan kepada Nek Jubata agar memberi restu pada pelaksanaan upacara Naik Dango. Pada kegiatan ini disajikan juga perangkat adat berupa Tumpi Sunguh (cucur putih), Solekng Poe” (ruas bambu berisikan ketan masak), hingga Sirih Masak (daun sirih, pinang siap kunyah dan gulungan rokok daun nipah). 3. Nyangahathn Nyangahathan merupakan acara inti dari upacara naik dango. Nyangahathn merupakan suatu kegiatan melantunkan doa dan mantra-mantra oleh Panyangahatn (imam adat) untuk memanggil semangat padi, sebagai ucapkan syukur kepada Tuhan atas anugerah yang diberikannya berupa panen padi sampai memohon ampun kepada Nek Jubata atas dosa, dan kesalahan. Serta meminta agar diberikan kesejahteraan pada tahun yang akan datang. 4. Kunjungan Rumah Tetangga atau Kerabat Acara ini biasanya dilakukan setelah acara Nyangahathn. Kegiatan kunjungan ini merupakan ritual penutup dari upacara naik dango. Setelah melakukan acara Nyangahathan para peserta upacara akan saling mengunjungi rumah kerabat dan tetangga. Pada acara kunjungan ini disajikan kudapan atau penganan berupa poe atau salikat (lemang atau pulut yang terbuat dari beras ketan yang ditanak di dalam batang bambu), tumpi cucur (campuran tepung terigu dan tepung beras yang diaduk dengan gula merah dan digoreng), Bontonkng (berbahan baku beras sunguh/beras lading-Bontonkng Sumuh dan yang berbahan dasar beras pulut ladang alias Bontonkng Poe’). Kue Tumpi Kue Lemang Panganan-panganan naik dango Asal-muasal Kegiatan Naik Dango Naik Dango sendiri bermula dari mitos asal mula padi mashyur diantara orang Dayak Kalimantan Barat lewat kisah Ne Baruankng Kulup. Cerita tersebut diawali dengan asal mula padi milik Jubata di Gunung Bawang yang dicuri oleh burung pipit. Padi tersebut kemudian jatuh ke tangan Ne Jaek yang sedang mengayau alias memenggal. Akibat hanya membawa setangkai padi dan bukan kepala, maka Ne Jaek pun menuai ejekan. Keteguhan Ne Jaek yang ingin membudidayakan padi tersebut menyebabkan pertentangan di sukunya yang berimbas pada diusirnya Nenek Jaek dari kampungnya. Dalam pengembaraannya, dia bertemu dengan Jubata dan lalu menikah. Perkawinan tersebut menghasilkan Ne Baruankng Kulup yang akhirnya membawa padi kepada “Talino” (manusia) akibat senang turun ke dunia untuk bermain Gasing. Hal tersebut membuat Ne Baruankng Kulup diusir dari Gunung Bawang dan kemudian menikah dengan manusia. Dial ah yang mengenalkan padi (beras) untuk menjadi makanan utama manusia menggantikan Kulat (jamur). Namun, untuk memperoleh padi terjadi tragedi pengusiran di lingkungan keluarga manusia dan jubata yang menunjukkan kebaikan hati Jubata bagi manusia. Fungsi padi dan kemurahan jubata inilah yang menjadi dasar upacara Naik Dango. Dalam bentuknya yang tradisional, pelaksanaan upacara pascapanen ini dibatasi di wilayah kampung atau ketimanggungan. Hakikat dari Acara Naik Dango Pada hakekatnya, upacara Naik Dango memiliki tiga aspek. Aspek tersebut antara lain : • Aspek kehidupan masyarakat agraris di mana masyarakat Dayak mengungkapkan tradisi bercocok tanam dengan padi sebagai panen utamanya. • Aspek kedua adalah aspek kehidupan religious. Lewat Naik Dango, masyarakat Dayak mengekspresikan rasa syukur, terima kasih dan hormat kepada Tuhan atas panen yang mereka peroleh. • Aspek yang terakhir adalah aspek kekeluargaan, solidaritas dan persatuan. Penyelenggaraan Naik Dango secara serentak dalam wilayah kesatuan hukum adat (binua) merupakan sebuah kegiatan yang bertujuan untuk mempererat silaturahmi antar keluarga khususnya dan masyarakat Dayak umumnya. Dalam upacara ini banyak nilai-nilai positif yang dapat dipetik dalam membangun kehidupan spritual dan sosial. Upacara ini bisa menumbuhkan semangat kebersamaan, motivasi untuk mencintai dan menghargai budaya sendiri serta meningkatkan pendapatan dan perekonomian masyarakat yang dihasilkan lewat bisnis jasa dan usaha wisata,” tutur Cornelis. Masyarakat Dayak, keberhasilan dan kegagalan dalam berladang sangat tergantung pada usaha manusia dan pertolongan Jubata atau Tuhan Yang Maha Kuasa. “Karakteristik warisan budaya leluhur itu, apabila mampu diolah dan dikemas dengan baik, antara lain berupa pembangunan jiwa dan raga manusia yang seutuhnya, serta bermanfaat sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” papar Cornelis lagi. Acara ini diadakan setiap tahunnya di halaman Rumah Betang (Rumah Adat Suku Dayak) yang sekaligus menampilkan berbagai macam seni budaya serta aneka macam hasil kerajinan khas suku dayak yang tidak kalah Eksotisnya, seperti : Lomba pemilihan Bujang dan Dara Suku Dayak Lomba menyumpit Melukis perisai (Tameng) Memahat patung tradisional Tari-tarian adat Suku Dayak Menganyam manik-manik Menumbuk dan menampik Membuat kue tradisional Menganyam bakul dengan bahan-bahan seperti rotan, kulit kayu dan daun bengkoang. Menganyam Manik Pemilihan Bujang Dare Dayak Tas Manik Sumber: https://www.academia.edu/6814932/Kebudayaan_Kalimantan_Barat

Kebudayaan di Bali

KEBUDAYAAN BALI Bali berasal dari kata “Bal” dalam bahasa Sansekerta berarti “Kekuatan”, dan “Bali” berarti “Pengorbanan” yang berarti supaya kita tidak melupakan kekuatan kita. Supaya kita selalu siap untuk berkorban. Bali mempunyai 2 pahlawan nasional yang sangat berperan dalam mempertahankan daerahnya yaitu I Gusti Ngurah Rai dan I Gusti Ketut Jelantik. Provinsi bali merupakan salah satu provinsi yang cukup terkenal di Indonesia karena merupakan salah satu aset devisa negara Indonesia yang cukup tinggi di bidang pariwisatanya. Ibukota Provinsi Bali adalah Denpasar. Provinsi bali sendiri tidak hanya terdiri dari pulau (dewata) Bali saja, namun juga terdiri dari banyak pulau yang lain, contohnya pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, dan lain – lain. Provinsi Bali secara astronomis terletak di 8° LS dan 115° BT. Daerah ini masih memiliki iklim tropis seperti Provinsi lainnya di Indonesia. Secara geografis provinsi ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Timur, dan Selat Bali di sebelah barat, Laut Bali di sebelah utara, samudera hindia di sebelah selatan, dan Selat Lombok di sebelah timur. Penduduk Bali terdiri dari dua, yaitu penduduk asli Bali atau disebut juga Bali Aga (baca :bali age) dan penduduk bali keturunan Majapahit. Sedangkan kebudayaan Bali memiliki kebudayaan yang khas karena secara belum terpengaruhi oleh budaya lain. Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan (patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Proses akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan jati diri (Mantra 1996). Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia (pawongan ), dan hubungan manusia dengan lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud. Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Bali juga dikenal adanya konsep tri semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu (athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum karma phaladisebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula seBaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan. UNSUR – UNSUR BUDAYA BAHASA Bahasa Bali adalah sebuah bahasa Austronesia dari cabang Sundik dan lebih spesifik dari anak cabang Bali-Sasak. Bahasa ini terutama dipertuturkan di pulau Bali, pulau Lombok bagian barat, dan sedikit di ujung timur pulau Jawa. Di Bali sendiri Bahasa Bali memiliki tingkatan penggunaannya, misalnya ada yang disebut Bali Alus, Bali Madya dan Bali Kasar. Yang halus dipergunakan untuk bertutur formal misalnya dalam pertemuan di tingkat desa adat, meminang wanita, atau antara orang berkasta rendah dengan berkasta lebih tinggi. Yang madya dipergunakan di tingkat masyarakat menengah misalnya pejabat dengan bawahannya, sedangkan yang kasar dipergunakan bertutur oleh orang kelas rendah misalnya kaum sudra atau antara bangsawan dengan abdi dalemnya, Di Lombok bahasa Bali terutama dipertuturkan di sekitar kota Mataram, sedangkan di pulau Jawa bahasa Bali terutama dipertuturkan di beberapa desa di kabupaten Banyuwangi. Selain itu bahasa Osing, sebuah dialek Jawa khas Banyuwangi, juga menyerap banyak kata-kata Bali. Misalkan sebagai contoh kata osing yang berarti “tidak” diambil dari bahasa Bali tusing. Bahasa Bali dipertuturkan oleh kurang lebih 4 juta jiwa. TEKNOLOGI Masyarakat Bali telah mengenal dan berkembang system pengairan yaitu system subak yang mengatur pengairan dan penanaman di sawah-sawah. Dan mereka juga sudah mengenal arsitektur yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan yang menyerupai bangunan Feng Shui. Arsitektur merupakan ungkapan perlambang komunikatif dan edukatif. Bali juga memiliki senjata tradisional yaitu salah satunya keris. Selain untuk membela diri, menurut kepercayaan bila keris pusaka direndam dalam air putih dapat menyembuhkan orang yang terkena gigitan binatang berbisa. D. ORGANISASI SOSIAL a). Perkawinan Rangkaian tahapan pernikahan adat Bali adalah sebagai berikut: Upacara Ngekeb Acara ini bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin wanita dari kehidupan remaja menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bersedia menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta nantinya mereka diberikan anugerah berupa keturunan yang baik. Setelah itu pada sore harinya, seluruh tubuh calon pengantin wanita diberi luluran yang terbuat dari daun merak, kunyit, bunga kenanga, dan beras yang telah dihaluskan. Dipekarangan rumah juga disediakan wadah berisi air bunga untuk keperluan mandi calon pengantin. Selain itu air merang pun tersedia untuk keramas. Sesudah acara mandi dan keramas selesai, pernikahan adat bali akan dilanjutkan dengan upacara di dalam kamar pengantin. Sebelumnya dalam kamar itu telah disediakan sesajen. Setelah masuk dalam kamar biasanya calon pengantin wanita tidak diperbolehkan lagi keluar dari kamar sampai calon suaminya datang menjemput. Pada saat acara penjemputan dilakukan, pengantin wanita seluruh tubuhnya mulai dari ujung kaki sampai kepalanya akan ditutupi dengan selembar kain kuning tipis. Hal ini sebagai perlambang bahwa pengantin wanita telah bersedia mengubur masa lalunya sebagai remaja dan kini telah siap menjalani kehidupan baru bersama pasangan hidupnya. Mungkah Lawang ( Buka Pintu ) Seorang utusan Mungkah Lawang bertugas mengetuk pintu kamar tempat pengantin wanita berada sebanyak tiga kali sambil diiringi oleh seorang Malat yang menyanyikan tembang Bali. Isi tembang tersebut adalah pesan yang mengatakan jika pengantin pria telah datang menjemput pengantin wanita dan memohon agar segera dibukakan pintu. Upacara Mesegehagung Sesampainya kedua pengantin di pekarangan rumah pengantin pria, keduanya turun dari tandu untuk bersiap melakukan upacara Mesegehagung yang tak lain bermakna sebagai ungkapan selamat datang kepada pengantin wanita. kemudian keduanya ditandu lagi menuju kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki kamar tersebut dan mengatakan kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang menutupi tubuhnya akan segera dibuka untuk ditukarkan dengan uang kepeng satakan yang ditusuk dengan tali benang Bali dan biasanya berjumlah dua ratus kepeng Madengen–dengen Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari energi negatif dalam diri keduanya. Upacara dipimpin oleh seorang pemangku adat atau Balian Mewidhi Widana Dengan memakai baju kebesaran pengantin, mereka melaksanakan upacara Mewidhi Widana yang dipimpin oleh seorang Sulingguh atau Ida Peranda. Acara ini merupakan penyempurnaan pernikahan adat bali untuk meningkatkan pembersihan diri pengantin yang telah dilakukan pada acara – acara sebelumnya. Selanjutnya, keduanya menuju merajan yaitu tempat pemujaan untuk berdoa mohon izin dan restu Yang Kuasa. Acara ini dipimpin oleh seorang pemangku merajan Mejauman Ngabe Tipat Bantal Beberapa hari setelah pengantin resmi menjadi pasangan suami istri, maka pada hari yang telah disepakati kedua belah keluarga akan ikut mengantarkan kedua pengantin pulang ke rumah orang tua pengantin wanita untuk melakukan upacara Mejamuan. Acara ini dilakukan untuk memohon pamit kepada kedua orang tua serta sanak keluarga pengantin wanita, terutama kepada para leluhur, bahwa mulai saat itu pengantin wanita telah sah menjadi bagian dalam keluarga besar suaminya. Untuk upacara pamitan ini keluarga pengantin pria akan membawa sejumlah barang bawaan yang berisi berbagai panganan kue khas Bali seperti kue bantal, apem, alem, cerorot, kuskus, nagasari, kekupa, beras, gula, kopi, the, sirih pinang, bermacam buah–buahan serta lauk pauk khas bali. b). Kekerabatan Adat menetap diBali sesudah menikah mempengaruhi pergaulan kekerabatan dalam suatu masyarakat. Ada macam 2 adat menetap yang sering berlaku diBali yaitu adat virilokal adalah adat yang membenarkan pengantin baru menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat suami,dan adat neolokal adalah adat yang menentukan pengantin baru tinggal sendiri ditempat kediaman yang baru. Di Bali ada 3 kelompok klen utama (triwangsa) yaitu: Brahmana sebagai pemimpin upacara, Ksatria yaitu : kelompok-klompok khusus seperti arya Kepakisan dan Jaba yaitu sebagai pemimpin keagamaan. c). Kemasyarakatan Desa, suatu kesatuan hidup komunitas masyarakat bali mencakup pada 2 pengertian yaitu : desa adat dan desa dinas (administratif). Keduanya merupakan suatu kesatuan wilayah dalam hubungannya dengan keagamaan atau pun adat istiadat, sedangkan desa dinas adalah kesatuan admistratif. Kegiatan desa adat terpusat pada bidang upacara adat dan keagamaan, sedangkan desa dinas terpusat pada bidang administrasi, pemerintahan dan pembangunan. E. MATA PENCAHARIAN Pada umumnya masyarakat bali bermata pencaharian mayoritas bercocok tanam, pada dataran yang curah hujannya yang cukup baik, pertenakan terutama sapi dan babi sebagai usaha penting dalam masyarakat pedesaan di Bali, baik perikanan darat maupun laut yang merupakan mata pecaharian sambilan, kerajinan meliputi kerajinan pembuatan benda anyaman, patung, kain, ukir-ukiran, percetakaan, pabrik kopi, pabrik rokok, dll. Usaha dalam bidang ini untuk memberikan lapangan pekerjaan pada penduduk. Karena banyak wisatawan yang mengunjungi bali maka timbullah usaha perhotelan, travel, toko kerajinan tangan. F. RELIGI Agama yang di anut oleh sebagian orang Bali adalah agama Hindu sekitar 95%, dari jumlah penduduk Bali, sedangkan sisanya 5% adalah penganut agama Islam, Kristen, Katholik, Budha, dan Kong Hu Cu. Tujuan hidup ajaran Hindu adalah untuk mencapai keseimbangan dan kedamaian hidup lahir dan batin.orang Hindu percaya adanya 1 Tuhan dalam bentuk konsep Trimurti, yaitu wujud Brahmana (sang pencipta), wujud Wisnu (sang pelindung dan pemelihara), serta wujud Siwa (sang perusak). Tempat beribadah dibali disebut pura. Tempat-tempat pemujaan leluhur disebut sangga. Kitab suci agama Hindu adalah weda yang berasal dari India. Orang yang meninggal dunia pada orang Hindu diadakan upacara Ngaben yang dianggap sanggat penting untuk membebaskan arwah orang yang telah meninggal dunia dari ikatan-ikatan duniawinya menuju surga. Ngaben itu sendiri adalah upacara pembakaran mayat. Hari raya umat agama hindu adalah Nyepi yang pelaksanaannya pada perayaan tahun baru saka pada tanggal 1 dari bulan 10 (kedasa), selain itu ada juga hari raya galungan, kuningan, saras wati, tumpek landep, tumpek uduh, dan siwa ratri. Pedoman dalam ajaran agama Hindu yakni : (1).tattwa (filsafat agama), (2). Etika (susila), (3).Upacara (yadnya). Dibali ada 5 macam upacara (panca yadnya), yaitu (1). Manusia Yadnya yaitu upacara masa kehamilan sampai masa dewasa. (2). Pitra Yadnya yaitu upacara yang ditujukan kepada roh-roh leluhur. (3).Dewa Yadnya yaitu upacara yang diadakan di pura / kuil keluarga.(4).Rsi yadnya yaituupacara dalam rangka pelantikan seorang pendeta. (5). Bhuta yadnya yaitu upacara untuk roh-roh halus disekitar manusia yang mengganggu manusia. KESENIAN Bukan hanya keindahan alamnya saja yang menarik dari Bali, namun keagungan tradisi masyarakatnya juga banyak menarik bahkan banyak dikaji oleh orang-orang diluar Bali. Sebagaimana diketahui Bali memang kaya akan berbagai kesenian tradisional, pakaian adat, bahasa, dan tradisi keagamaan yang mewarnai realitas kehidupan masyarakat Bali. Ialah Tari Barong dan Tari Kecak yang menjadi salah satu tarian tradisional khas Bali yang sudah terkenal kemana-mana. Apa menariknya dari kedua tarian ini? Kedua tarian ini bisa dikata sebagai ikon kesenian tradisional Bali yang diangkat ke level nasional bahkan internasional. Seringkali kedua tarian ini dijadikan sebagai media promosi efektif paket-paket wisata di Bali oleh berbagai agen dan biro perjalanan wisata. Bahkan hampir seluruh agen maupun biro perjalanan wisata ke Bali selalu mengajak tamunya untuk menyaksikan Tari Barong dan Tari Kecak ini. Pada umumnya, kedua tarian ini diadakan oleh sebuah kelompok (Sakeha) seni tari tradisional yang ada di setia-setiap desa di Bali. Seperti di Desa Batubulan misalnya, terdapat beberapa Sakeha yang memiliki jenis tarian yang sama dengan Sekeha lainnya. Perbedaan diantara kelompok-kelompok itu ada pada bentuk pelayanan dan tempat pertunjukkannya saja. Pada setiap pertunjukkan di Batubulan, biasanya tarian pertama yang digelar adalah Tarian Barong yang digabung dengan Tari Keris sehingga keduanya dikenal dengan Tari Barong dan Tari Keris. Tari Barong Tari Barong mengambarkan pertarungan yang sengit antara kebaikan melawan kejahatan. Barong vs Rangda ialah dua eksponen yang saling kontradiktif satu dengan yang lainnya. Barong dilambangkan dengan kebaikan, dan lawannya Rangda ialah manifestasi dari kejahatan. Tari Barong biasanya diperankan oleh dua penari yang memakai topeng mirip harimau sama halnya dengan kebudayaan Barongsai dalam kebudayaan China. Sedangkan Rangda berupa topeng yang berwajah menyeramkan dengan dua gigi taring runcing di mulutnya. Tari Kecak Tari Kecak pertama kali diciptakan pada tahun 1930 yang dimainkan oleh laki-laki. Tari ini biasanya diperankan oleh banyak pemain laki-laki yang posisinya duduk berbaris membentuk sebuah lingkaran dengan diiringi oleh irama tertentu yang menyeruakan “cak” secara berulang-ulang, sambil mengangkat kedua tangannya. Tari Kecak ini menggambarkan kisah Ramayana di mana saat barisan kera membantu Rama melawan Rahwana. Sumber: http://nadillaikaputri.wordpress.com/2012/11/19/kebudayaan-bali/